Friday, August 20, 2010

JEJAK PETUALANG

Pengen banget backpacking keliling Eropa, seperti para Canadian Backpackers yang terkenal itu. Apalagi setelah saya baca kisah pertualangan Ikal dan Arai dalam Sang Pemimpi...pas banget dengan apa yang saya impikan sejak dulu. Bedanya, dulu saya memimpikan backpacking keliling pulau Jawa. Anehnya, saya pengennya naik motor, bukannya jalan kaki seperti backpacker umumnya. Masih bisa disebut backpacking ga ya?....

Sempat ga 'ngeh' juga dulu waktu baru mendengar istilah 'backpacking'...saya pikir artinya 'mengepak punggung'...haha, terjemahan yang aaaaneh...jadi malu dengan pendidikan yg saya ambil -Bahasa Inggris-. Akhirnya tau sendiri kalo maksudnya adalah berpetualang dengan membawa ransel atau backpack, ke tempat-tempat yang dimaui. Dan dalam backpack itulah harta kita yang paling berharga, karena barang yang paling penting (selain uang) adalah sleeping bag atau kantung tidur yang harus dibawa.


Well, pikir punya pikir, sebenarnya saya pernah juga lho backpacking. Waktu itu kalo ga salah awal tahun 2000an. Saya pun masih kuliah. Pas liburan panjang, berangkatlah saya dan 2 orang teman satu kos ke tanah Jawa. Salah satu teman saya itu pulkam ceritanya, dan satunya lagi ikut teman satunya pulkam (hedeh...susah amat). Sedangkan saya mengemban misi khusus, yaitu mengakhiri masa jabatan saya sebagai ketua umum Mapala IMPAS-B FKIP Unlam dengan refreshing dan liburan.

Kita berangkat naik kapal laut menuju Surabaya. Kedua teman saya itu diantar keluarga masing-masing. Sedangkan saya? Nah...inilah yang sampai sekarang menjadi ganjalan sodara-sodara. Secara kalo bilang jujur ke orang tua ga bakalan diijinkan buat pergi jauh-jauh menyeberang lautan -mahal pula ongkosnya- ke Jawa, maka saya 'beralasan' ada study banding prog. pend. bahasa inggris dari kampus ke universitas2 di Jawa dan semua mahasiswa yang mengambil mata kulaiah itu harus...wajib...ikut. Bokap nyokap sih percaya aja, dan dikasihlah saya uang sesuai dengan yang saya budgetkan, plus uang saku. Astaga....saya harus cepat-cepat mohon ampun lagi nih pada kedua orang tua ...
Dan sudah bisa ditebak, sementara teman saya itu dapat petuah terakhir dari orangtuanya, saya malah sibuk inspeksi pelabuhan nyari snack buat di kapal.

@Tumpang
Oke, akhirnya kita tiba di pelabuhan Tanjung Perak sore hari. Tujuan pertama adalah ikut ke rumah keluarga teman di Tumpang, sekian kilometer dari Malang selama beberapa hari. Gak ada yang perlu dikhawatirkan karena teman saya itu asli Jawa dan sudah sering pulang-pergi, jadi kita tinggal ikut kemana dia membawa aja. Sangat exciting, karena sebagai orang yang baru ini kali ke luar daerah, suhu kota Malang yang dingin membuat saya malas mandi-walaupun akhirnya terpaksa mandi juga-dan ingin bobo terus...

Sekitar seminggu saya cs berada di Malang, jalan-jalan, masuk plaza -yang sebenarnya kurang saya suka karena ga ada tantangannya- naik andong...
Ada yang ga bisa saya lupa ketika pertama kali naik andong itu. Pak kusir yang baik itu menawarkan harga 2000 perak (murah banget) untuk pulang-pergi desa Bringinsongo, dimana ada sebuah situs wisata. Merasa harga yang ditawarkan sangat jauh dari yang dikira, dengan heboh kami langsung naik. Sepanjang jalan kita (saya) maksudnya ngomong ngalor ngidul becanda gak karuan. Tiba-tiba saya melihat sebuah pohon beringin yang besar di pinggir jalan. Oke. Andong terus melaju. Ga taunya saya lihat lagi beberapa pohon beringin. Entah kenapa tiba-tiba saya nyeletuk; "...ini baru 3 pohon beringin...berarti masih ada 7 pohon lagi ya, kan namanya desa Bringinsongo.."
Teman-teman ketawa.

Nah, inilah kejadian selanjutnya, kawan. Ga ada angin ga ada hujan, andong yang kami kendarai tiba-tiba, tanpa peringatan untuk mengencangkan seatbelt, ambruk terjungkal. Si kuda entah kenapa kaki depannya kejelepok dan meringkik-ringkik ga karuan. Kasihan kami, terkaget-kaget dan menjerit. Lebih kasihan lagi pak kusir, tanggannya sampai berdarah-darah karena berusaha membangunkan si kuda yang beratnya entah berapa kali berat badan beliau.

Setelah sembuh dari panik, dan andong jalan lagi setelah kecelakaan yang mengejutkan dan 'memalukan' itu, berceritalah pak kusir bahwa di daerah itu dilarang terlalu heboh...apalagi sampai menghitung pohon beringin seperti tadi...
Ealaaaah...rupanya penunggu sono ga seneng dengan kita yang kehebohan sendiri sampai masuk daerah orang ga minta ijin...
Pelajaran moral nomor satu: kalau mau terjungkal naik andong, hitunglah jumlah pohon beringin.

@Kampung teman saya
Kami berangkat ke kampung halaman teman saya itu naik bus. Sangat berbeda sekali, di sini tempatnya sangat desa, dengan pemandangan alam yang asri. Bunga-bunga yang belum pernah saya lihat di banua, subur dan aneka warna. Wuih...seandainya saya adalah seorang penyair, pasti berpuluh-puluh puisi telah tercipta. Atau kalau saya pencipta lagu, beberapa lagu pasti sudah siap untuk direkam dan dilempar ke pasaran. Dan andaikata saya seorang pelukis, sebuah lukisan pasti sedang tergantung di kamar saya...
Inilah yang saya sebut dengan desa. Asri, hijau, pepohonan, sejuk, tidak seperti di banua saya, sebutlah kota B. B yang gersang, panas, jalanan berdebu, mata air kering karena dampak tambang batubara...pohon-pohon ogah hidup...fyuuuhh...

Ternyata masakan Jawa yang manis-manis menambah berat badan saya. Apalagi gratisan....hehehe, kan di rumah teman. Keluarga teman saya itu sangat baik. Kami semua diajak ke tempat wisata -saya lupa namanya- yang punya air terjun tinggi, melewati kebun-kebun apel di Batu, ituu tempat lahirnya Krisdayanti, walaupun sekarang saya gak suka lagi dengan KD...O iya, Songgoriti...iya apa bukan ya? Tau ah...

Di desa teman saya itu jiwa penjelajah saya terusik lagi. Pagi-pagi saya keluar jalan-jalan seorang diri, menyusuri sepanjang jalan desa. Dan hasilnya, orang rumah panik karena saya 'menghilang'....
Pelajaran moral nomor dua: kalau mau membuat kepanikan, pergilah berjalan-jalan tanpa pamit.

@Surabaya
Ga terasa seminggu sudah saya numpang dirumah teman. Merasa ga enak serta ingin bertualang sendirian, saya sedikit memaksa untuk ke Surabaya seorang diri. Ada teman di sana, alasan saya sama orangtua teman saya itu. Akhirnya dengan ekspresi wajah khawatir dari semua orang, saya berangkat pagi-pagi naik bus. Sebelum berangkat itu sempat-sempatnya teman saya membisiki; "kalau ada yang ngajak ngobrol di bis, bilang aja kamu dari Jakarta, jangan dari Kalimantan. Ntar ditipu orang.." Wah, ngeri juga memikirkan seperti itu. Namun bukannya nyali saya ciut, malah saya semakin bersemangat untuk berangkat.
Dan ketika bis yang membawa saya berangkat, suatu perasaan yang susah saya ungkapkan tiba-tiba menguasai dada saya. Bukan takut, bukaaaaan....Lebih pada excitement. Inilah aku, yang sendirian dalam bis menuju Surabaya, tempat yang baru pertama kali kudatangi. Begitulah kira-kira gemuruh dada saya.

Sampai stasiun Pasar Turi saya dijemput teman Mapala Surabaya. Sempat ke Malang lagi setelahnya dan diajak kemping beberapa hari kemudian.

@Jogjakarta
Genap satu minggu saya di Surabaya, luntang lantung ga karuan, saya memutuskan untuk ke Jogja. Pengalaman pertama memang selalu mengasyikan. Contohnya, pertama kali naik kereta api ke Jogja itu. Numpak sepur, orang jawa bilang...
Sempat ketawa-ketawa sendiri merasakan goncangan di kereta, saya dan 2 teman berangkat ke Jogja.

Di sinilah pengalaman-pengalaman asyik saya alami. Saya tidur di sekretariat Mapala lagi. Kawan, saya sarankan bila engkau kuliah, jadilah anggota Mapala. Kemanapun kau pergi di Indonesia ini, asalkan kau seorang Mapala, Insya Allah hidupmu terjamin. Itulah yang saya rasakan di sini. Saya jarang sekali membuka dompet untuk makan. Teman-teman Mapala lah yang menjamin makan dan tidur saya, apalagi saya perempuan baik-baik. Mereka mentreat saya lebih baik lagi.

Yang namanya jiwa petualang, gak bisa diubah. saya, entah bagaimana caranya, tiba-tiba ikut merasakan petualangan arus deras. Arung jeram orang bilang. Mau ke situs wisata? Tinggal bilang, banyak yang nganterin...
Sempat ngamen juga di kota gudeg itu. Teman-teman mapala sana sangat respect pada permainan gitar saya, jadilah kita didaulat ngamen bareng...asyik..:D

Kalo disini jangan sembarangan naruh sandal bagus, bisa hilang...kata seorang teman. Dan benar saja, baru beberapa jam yang lalu saya beli sandal gunung merk terkenal di Malioboro, begitu memasuki salah satu mesjid bersejarah, pulangnya saya terpaksa pake sandal jepit butut gantinya sandal bagus dan mahal saya..:(. Masih untung si maling kasian, sehingga ditinggalnya lah sandal bututnya untuk saya. Apes...sebagai pengobat kecewa dan marah, saya beli lagi sandal yang sama....yah, rugi siih...

kata bang Haji Rhoma, Pesta Pasti Berakhir. Benarlah, petualangan sayapun mesti berakhir. Bukannya karena kehabisan duit, tapi karena bibi saya yang di Jakarta memaksa saya untuk segera berangkat ke sana. Beliau tidak mau kompromi, pokoknya besok, paling lambat lusa, kamu harus kesini, katanya.
Dengan berat hati saya akhirnya pamit dengan teman-teman saya. Padahal mereka sudah mengiming-imingi saya untuk naik g unung merbabu...apa mau dikata, si bibi ga ada kata nanti.

Hari keberangkatan saya tiba. Karena berangkatnya sore, maka saya santai disekretariat. Barang sudah dipacking, tinggal go. Saya sempat heran, teman-teman saya itu seperti lupa kalo saya berangkat hari itu...ga ada yang ngucapin slamat tinggal, ga ada yang ngucapin salam perpisahan, bahkan ga ada yang mengucapkan sepatah katapun pada saya....heran, saya dicuekin!

Jam stengah enam, cukup sudah. Saya menyampaikan pidato perpisahan saya karena jam enam kereta akan berangkat. Dengan motor saya diantar ke stasiun Tugu, diiringi hujan rintik-rintik. Bah...lengkaplah sudah. Untung ada yang ngasih pinjam baju jas hujan buat saya.

Sesampainya di stasiun, sial...lonceng tanda KA akan berangkat sudah berbunyi. Ting-tong…ting-tong. Saya panic. Teman-teman saya juga panic. Rupanya mereka merasa bersalah karena sengaja tidak mengacuhkan saya supaya saya ga jadi berangkat…sableng!

Salah seorang teman menyuruh saya lompat pagar stasiun saja supaya cepat. Pagarnya sih ga tinggi-tinggi amat, sebatas dada saya kali. Namun dalam keadaan panic begitu saya pontang-panting seperti marathon, plus seperti slow motion menuju pagar itu. Teman-teman saya berlari di belakang saya sambil terbirit-birit membawa backpack saya yang nauzubillah beratnya….

Tiba-tiba saya ingat, saya kan masih memakai baju dan celana jas hujan…? Aduuuh….ribetnya! Terpaksa sambil pontang-panting saya lepas bajunya, sementara pagar itu sudah di depan mata. Lalu melompatlah saya. Tidak bisa langsung ke sisi sebelah karena badan saya kecil…huuuuuh. Si kereta sudah bergerak. Pertama-tama gerbong satu, kedua, dan seterusnya. Saya masih struggle berjuang di atas pagar., dan akhirnya berhasil juga. Gerbong terakhir mulai lewat. Saya, walaupun sudah di sisi dalam stasiun, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan, yaitu…melepas celana jas hujan tadi! Aduuuh….mana bisa dengan cepat melepasnya dalam keadaan panic gitu. Mana masih tersangkut sandal jepit saya lagi! Sementara gerbong terakhir sudah bergerak.

Panic saya bertambah-tambah, ketika gerbong terakhir itu melewati saya. Ampuuun…saya masih berjuang melepas benda sial itu, sampai tidak mempedulikan lagi orang-orang se stasiun yang dengan heran memandangi saya cs. Apa yang anda pikirkan ketika melihat cowok2 gondrong berkutat melepaskan celana seorang cewek? Hiiiiiiii…..don’t tell me. Itulah juga yang mungkin dipikirkan orang-orang itu.

Akhirnya, celana sialan itu lepas juga. Dan gerbong kereta sudah jauh di depan….saya seperti hilang ingatan ketika berlalri mengejar gerbong itu, seperti berlari mengejar kekasih yang ada di gerbong itu, pergi meninggalkan saya. Peduli setan dengan orang-orang. Lari saya makin cepat ketika 2 orang kondektur mengulurkan tangannya dari atas gerbong. Seperti adegan film India, tangan petugas itu saya tangkap, dan mereka menarik saya ke atas kereta. Huff…..akhirnya. untung barang saya rupanya telah dilempar teman-teman ke atas gerbong.

Berakhirlah aksi kejar-kejaran itu, berakhir pula petualangan saya. Berdiri di pintu gerbong, senja itu, saya sekali lagi melihat kearah teman-teman nun dibelakang sana, sambil melambaikan tangan. Pelan-pelan saya terduduk di pintu gebong, merasakan angin senja yang deras meniup rambut saya…merasakan cahaya terakhir sang surya, di Jogja. Sampai akhirnya seorang petugas meminta tiket saya dan menunjukkan tempat duduk. Unforgettable moment.

Jadi, masih bisa gak kira-kira pengalaman saya itu disebut backpacking? Terserahlah, yang pasti, Pelajaran moral nomor tiga: kalau tidak mau ketinggalan kereta, jangan pakai jas hujan!

Gaya tulisan ini memang meniru tetralogi LP, kawan. Biarlah, karena itu memudahkan saya untuk bercerita..:D Ga papa khan?

3 comments:

  1. biasa aja seh, tp sukses ya,,,

    ReplyDelete
  2. Weleh, nostalgia nih ceritanya~ :3

    Haha, aku ngakak waktu baca andong yang kebalik, teman2 mam yg mau melepaskan celana (jas hujan), dan pengejaran kereta ala film2 india itu. Rasanya seru banget gitu!

    Sayang ga ketemu bule sesama backpacker dan ga tidur di sleeping bag (?) tuh, tapi enak tidur dirumah temen, keamanan terjamin. :)

    Ayo mam backpacking lagi! Tapi sekarang bajetnya rada mahal~ -,-

    ReplyDelete
  3. @ ayu: kalo mau bobo d sleeping bag, kemping aja...tuh dirumah ibu pralatan kemping lengkap...:)

    ReplyDelete